Indonesia, negara yang disebut sebagai negara demokrasi, telah mengalami fase-fase perubahan gerakan sosial. Perubahan atau perkembangan itu terlihat jelas pada tiga era. Yaitu era orde lama, orde baru, serta era pasca reformasi tahun 1998. Perubahan tersebut dilihat dari aktor-aktor utama yang terlibat di dalamnya. Pada awalnya, di era orde lama, yang menjadi aktor utama dalam terbentuknya gerakan sosial adalah kaum intelektual yaitu mahasiswa. Keadaan yang sempat carut marut pada masa itu mendorong kaum intelektual untuk melakukan sebuah gerakan untuk mengkritik pemerintahan. Wajar saja jika mahasiswa mampu melakukan gerakan seperti itu. Karena seperti apa yang dikatakan oleh Pierre Bourdieu, bahwa kaum intelektual punya kewajiban sebagai ‘juru bicara’ bagi kaum yang tertindas dan mampu menjadi alat kritik terhadap pemerintahan. Mahasiswa atau kaum intelektual memiliki kewajiban seperti itu karena mereka ditempatkan pada posisi yang otonom pada arena intelektual. Artinya, mereka memiliki kebebasan untuk melakukan sebuah kegiatan yang didasarkan pada kemampuan dan kapasitas meraka sebagai kaum intelektual.
Kedua, pada era orde baru, kebebasan kaum intelektual mulai dibatasi, bahkan dikekang oleh rezim yang berjalan pada saat itu. Hal ini jelas sangat mengganggu posisi mereka yang otonom. Maka tidak aneh ketika gerakan mahasiswa pada saat itu redup. Namun akumulasi tekanan yang terjadi pada saat itu menghasilkan sebuah ‘ledakan’ gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang memaksa rezim pada saat itu runtuh. Turunnya rezim orde baru pada saat itu disebut sebagai era reformasi. Walaupun gerakan tersebut merupakan gerakan mahasiswa, namun organisasi-organisasi non-pemerintah dianggap sebagai aktor utama gerakan tersebut. Organisasi-organisasi tersebut lah yang ditengarai berada ‘di balik layar’ munculnya gerakan mahasiswa tersebut.
Kemudian, era pasca reformasi tahun 1998, ‘pintu’ demokrasi mulai terbuka kembali. Pada era inilah, posisi otonom kaum intelektual telah dikembalikan. Namun, hal ini tidak berpengaruh signifikan terhadap munculnya gerakan-gerakan sosial, terutama untuk mengkritik pemerintahan. Salah satu sebabnya adalah karena tekanan yang dilakukan pada era orde baru telah mempengaruhi pola pikir mahasiswa atau kaum intelektual untuk tidak bertindak memberontak. Media yang dikuasai oleh pemerintah pada orde baru pun menjadi salah satu sebab yang signifikan terhadap pembentukan atau perubahan pola pikir kaum intelektual. Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, bahwa media sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seseorang di luar kesadarannya. Tentu sangat wajar ketika media dianggap sebagai salah satu penghambat munculnya gerakan sosial.
Namun minimnya gerakan kaum intelektual pada era pasca reformasi tidak serta merta menjadi penghambat munculnya gerakan sosial di Indonesia. Gerakan sosial pada era ini aktor utamanya justru rakyat itu sendiri. Secara mandiri, rakyat telah mampu membentuk adanya sebuah gerakan sosial untuk melawan sebuah penindasan atau dominasi kekuasaan. Jika dilihat dari sudut pandang Anarkisme, gerakan tersebut merupakan alat kontrol dari negara atau pemerintah yang berkuasa, karena negara atau pemerintah dianggap sebagai penghambat kebebasan manusia. Selain itu, sebab lain munculnya gerakan sosial disebabkan karena perkembangan teknologi dan akibat dari mulai terbukanya kembali ‘pintu’ demokrasi. Masyarakat, khususnya kaum intelektual seperti mahasiswa, telah memanfaatkan adanya alat komunikasi modern (contoh: handphone, internet) dan situs-situs jejaring sosial (contoh: facebook, twitter) untuk melakukan sebuah propaganda. Pemanfaatan teknologi tersebut merupakan salah satu cara yang signifikan untuk menciptakan sebuah gerakan sosial. Karena sejatinya, teknologi merupakan alat ‘penghapus’ batas-batas komunikasi. Selain itu, ruang-ruang publik seperti pasar, kafe, atau taman pun mampu dijadikan tempat untuk membuka sebuah pembicaraan atau obrolan terkait masalah-masalah pemerintahan tanpa adanya tekanan dari pemerintah atau rezim yang sedang berkuasa.
Gerakan sosial di era pasca reformasi yang muncul dari rakyat lebih pada gerakan kelompok. Seperti gerakan buruh, gerakan petani, gerakan PKL (Pedagang Kaki Lima), atau semacamnya. Gerakan tersebut merupakan gerakan yang bertujuan untuk mengkritik atau menuntut kebijakan pemerintah yang dianggap telah merugikan mereka. Dahrendorf (1959) menyebutkan ada tiga kondisi yang mampu memunculkan adanya kelompok perjuangan. Yaitu, komunikasi terus di antara orang-orang senasib; adanya seorang pemimpin yang membantu mengartikulasikan ideologi, mengorganisasikan kelompok, dan memformulasikan rencana untuk melakukan tindakan kelompok; dan legitimasi dari pihak lain, atau tidak adanya tekanan yang signifikan dari pihak lain yang mampu menghambat munculnya gerakan tersebut. Poin-poin tersebut menjadi penjelas sebab munculnya gerakan rakyat yang bersifat kelompok atau kolektif. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Amartya Sen. Dia berpendapat bahwa persamaan identitas atas kepentingan yang sama mampu memberikan kekuatan dan rasa solidaritas yang tinggi. Jelas hal ini akan memberikan sebuah kepercayaan diri terhadap rakyat yang ingin melakukan sebuah gerakan secara kelompok atau kolektif.