Minggu, 27 Maret 2011

Akhlak Tasawuf

akhlak tasawuf adalah Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Mereka berpikir bahwasannya hidup zuhud adalah hidup tanpa harta. Mereka berpikir zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya?

Mengenai zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.
Akan tetapi masih banyak orang awam menganggap ahli sufi itu “sesat”. Mereka melihat orang ahli sufi disebelah saja dalam artian, sudut pandang yang tidak bersependapat dengan apa yang diketahui, lebih mudahnya tidak sepaham, mereka yang beranggapan seperti itu karna memaknai arti "من رانى فقد راى الحق" dengan texstual, mereka tidak makna yang terkandung didalamnya, maka dari itu, makalah ini akan membahas “makna hakiki tentang zuhud agar orang awam tahu, bagaimana kita menyikapi orang-orang ahli tasawuf, agar terjadi hubungan harmonis diantara mereka, karna selama ini kebanyakan kita melihat adanya kontradiksi diantaranya.A. Pengertian Zuhud yang Amat Baik
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati.

"ان الزهد في ترك مايشغللك عن الله"

Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.” (Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H.)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Ada pendapat lain yang mengatakan:
Arti kata zuhud adalah tidak ingin kepada sesuatu dengan meninggalkannya. Menurut istilah zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat.
B. Zuhud Bukan Berarti Mencela Dunia Secara Mutlak
Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. ...”
Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.
C. Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.

Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada ibnu Mubarok
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”.(Siyar A'lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387, Mawqi’ Ya’sub.
D. Penyebutan Zuhud Terhadap Dunia dalam Al Qur’an dan Hadits
Masalah zuhud telah disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits. Di antara ayat yang menyebutkan masalah zuhud adalah firman Allah Ta’ala tentang orang mukmin di kalangan keluarga Fir’aun yang mengatakan,
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)
“Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ - وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.” Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!
Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
E.Tingkatan-tingkatan zuhud
1. Tingkatan Mubtadi’ ( tingkatan pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2. Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3. Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. ( Menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi)
Menurut Al Gazali, zuhud juga dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:
1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.
2. Meninggalkan keduniaan karna mengharap sesuatu yang bersifat keakheratan
3. Meninggalkan sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya.
Dalam keteragan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah. Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Alloh.
F. Beberapa tokoh ahli zuhud
• (Mansur al-Hallaj)
Barangsiapa mengenal sejarah Islam, ia pasti mengenal kata-kata Anal Haqq. Kata-kata
ini sendiri, sebenarnya sudah menggoda keawaman,apalagi kesalehan seorang muslim. Terlebih lagi ketika ia terkait pada riwayat dan kisah-kisah Mansur al-Hallaj, seorang sufi yang bernama lengkap Husein Ibn Mansur al-Hallaj, orang parsi kelahiran parsi dari desa Baiza, namun mati dipancung ditiang gantungan kekuasaan Islam di Baghdad tepatnya di tepi sungai Euphrat, tempat mengalir bukan hanya sebagian peradaban Islam, tetapi juga sebagian peradaban dunia kita ini, lantaran ia mengucapkan Anal Haqq, ia mengucapkan itu tanpa ia sadari dan ketika ditanya kembali ternyata ia tidak mengucapkan hal tersebut.
Kebesaran dan kematian Mansur al-Hallaj sudah seperti legenda saja. Sebelum digantung, ia ditahan selama 8 tahun lamanya, walaupun di istiana. Tengah digantung ia dipecuti seribu kali, tanpa mengaduh kesakitan. Sesudah dipecut, kepalanya dipenggal. Tapi sebelum dipancung, Mansur al-Hallaj bersenbayang dua raka’at. Kemudian, kedua kaki dan tangannya dipotongi. Badannya digulung kedalam tikar bambu, direndamkan dan dihanyutkan ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke khurasan untuk dipersaksikan oleh umat islam dan sejarahnya.
Begitulah kekuasaan dimasa itu, dinasti Abbasiah memuas dirinya dengan lematian Mansur al-Hallaj.
Adapun Mansur al-Hallaj, yang lagi tengah digantung untuk dipenggal kepalanya, ia masih saja memohon kepada alloh agar mengampuni serta memberi karunia meraka yang sedang kerasukan membunuhnya. Bagian akhir sanjak tiang gantungannya berkata:
“ yaa tuhan dengarlah dukaku bagi mereka yang tinggal kelana yang terseok dan tersaruk karena buta lebih buta dari kawanan domba”
Dari cerita diatas kita dapat menganbil sebuah pelajaran berarti yaitu tentang kesetian seseorang kepada sesuatu yang ia cintai, seperti halnya Mansur al-Hallaj yang buta akan dunia, ia tidak memikirkan harta dan semua yang berbahu keduniawian, ia telah sampai ketingkat ma’rifat, dimana tingkat tersebut sudah kedalam tingkatan paling atas, sampai-sampai ia mengatakan Anal Haqq dengan tidak sadar.
Perlu kita ketahui bahwasan antara sufi dan yang bukan sufi, ada beberapa hal yang berbeda, diantaranya:
• Ibadah orang yang bukan sufi bertujuan untuk dapat bernaung di dalam surga, seakan-akan ia beramal di dunia ini untuk ditukarkan dengan kebahagian dengannya
• Sedangkan ibadah orang sufi bertujuan mengekalkan toleransinya dengan alloh azza wajalla, ibadahnya merupakan hubungan yang utama dengan-Nya, bukan mengharap sesuatu atau takut akan sesuatu.
Dilihat dari dua hal diatas,maka kita perlu mengkaji ulang arti dari pada orang ahli tasawuf itu sendiri, jangan kita langsung menganggap bahwasannya orang-orang seperti: Mansur al-Hallaj, syech siti jenar dan ahli-ahli sufi lainnya, itu menyesatkan, sehingga menjadi soroton publik dan beliau dibunuh dengan cara yang tidak lazim (dipasung) dipotong dua tangan dan kakinya. Maka dari itu makalah ini menjelaskan apa maksud dari kezuhudan seorang hamba kepada sang pencipta, dan bagaimana seharusnya kita menyikapi hal seperti itu.
• ( Umar Bin Abdul Aziz)
Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah dari Bani Ummaiyah yang ke delapan dan disebut juga sebagai khulafaur rasyidin yang kelima, beliau lahir di halawan mesir, ia adalah seorang khalifah yang patut kita contoh, semisal keteladannya beliau, kezuhudan terhadap harta yang beliau miliki, beliau tidak mau bersenang-bersenang diatas penderitaan orang lain. Umar bin abdul aziz menafkahkan semua hartanya ke Baitul Mal dan untuk kepentingan rakyat.
Di lain waktu ada salah satu sahabat menghampiri beliau, dan sebelum itu beliau bertanya kepada seseorang itu, “hai sahabat sebelumnya ku ingin bertanya kepada engkau, maksud kedatangan mu kesini untuk membicarakan kepentingan mu sendiri atau kepentingan negara”? lalu sahabat tersebut menjawab “ kedatanganku kesini hanya ingin membicarakan tentang kepentinganku sendiri”, seketika itu lampu minyak yang tadinya menyala, ditiup Oleh Umar bin Abdul Aziz. Dengan rasa penasaran dan herannya sahabat tersebut langsung bertanya kepada umar bin abdul aziz ” wahai khalifah, apa yang telah engkau lakukan dengan meniup lampu itu. Umar menjawab,” sesungguhnya lampu minyak ini adalah milik negara, yang membiayai adalah menggunakan uang negara, jadi tidak sepatasnya kalau kita menggunakannya bukan untuk kepentingan negara.
Dari statemen diatas dapat kita simpulkan bahwasnnya, Umar bin abdul aziz adalah seorang ahli sufi, yang dimana beliau benar-benar takut akan gemerlap cobaan-cobaan dunia, beliau tidak sedikitpun mengambil sesuatu dari negara yang dipimpinnya, meskipun tho, Umar bin Abdul Aziz hanya memimpin selama (2-3 th), rakyat yang dipimpinnya tidak merasa kesusahan.

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar