BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Meningkatnya jumlah penduduk ternyata tidak diimbangi dengan meningkatnya produksi tanaman pangan. Produktivitas tanaman pangan cenderung turun sehingga pemerintah perlu segera mencari terobosan teknologi yang mampu meningkatkan produksi.
Pemerintah bisa mulai mengembangkan jenis-jenis tanaman transgenik atau tanaman yang dari benihnya sudah mendapatkan perlakuan bioteknologi tertentu yang memiliki produktivitas tinggi untuk mendukung ketahanan pangan. Demikian terungkap dalam seminar nasional Bioteknologi untuk Pembangunan Pertanian di Universitas Lampung, Selasa (19/5).
Dahri Tanjung, Peneliti sekaligus Sekretaris Eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) pada seminar tersebut mengatakan, di Indonesia ada banyak tanaman yang bisa dikembangkan sebagai komoditas transgenik. Di antaranya jagung, tomat, kentang, kedelai, padi, dan tebu.
Dari penelitian terhadap tanaman jagung transgenik yang sudah ia lakukan, tanaman jagung memiliki nilai ekonomis dan produktivitas tinggi ketika dikembangkan dengan teknologi. Penelitian tersebut dilakukan untuk menjawab tingginya kebutuhan jagung di Indonesia, namun belum diimbangi dengan produksi.
Angka kebutuhan jagung Indonesia meningkat 10-15 persen per tahun. Akan tetapi, kenaikan produksi tidak seimbang dengan kenaikan permintaan. Sebagai gambaran, pada 2007 produksi jagung Indonesia mencapai 13,288 juta ton, namun angka permintaan jagung mencapai 17,194 juta ton. Sedangkan pada 2008 produksi jagung Indonesia tercatat sebanyak 15,860 juta ton dengan permintaan mencapai 18,627 juta ton.
"Kita semakin kesulitan mendapatkan tanaman pangan akibat ketersediaan lahan produktif semakin terbatas sementara laju produktivitas lahan semakin melambat," ujar Dahri.
Menurut Dahri, pengembangan tanaman jagung transgenik sebagai salah satu tanaman pangan bisa menjawab pertanyaan kekurangan produksi tanaman pangan. Dari penelitian yang ia lakukan, dengan menanam jagung hibrida di Lampung, produktivitas jagung per hektar mencapai 5,4 ton. Sedangkan dengan menanam jagung transgenik, produktivitas per hektar mencapai 10,8 ton jagung kering.
"Produktivitas tinggi akan memacu peningkatan pendapatan petani. Biaya produksi membudidayakan kedua jenis jagung itu hampir sama. Namun keuntungan menanam jagung transgenik mencapai tigaempat kali lipat dari jagung hibrida tentu petani akan lebih diuntungkan," ujar Dahri.
Bustanul Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila pada seminar tersebut mengatakan, penerapan bioteknologi dengan menerapkan bibit tanaman transgenik untuk meningkatkan produksi pertanian boleh saja dilakukan. Akan tetapi, sampai saat ini pe nerapan pertanian dengan bibit tersebut masih kontroversial. Pemerintah belum menyetujui pemakaian benih transgenik.
Selain berdampak pada masalah lingkungan, pemerintah juga masih memikirkan dampak pangan yang diproduksi dari bibit yang diperlakukan dengan teknologi. Untuk itu, para peneliti sebaiknya tidak hanya berhenti pada penelitian di laboratorium atau ladang yang terkontrol, namun harus sesegera mungkin ditunjukkan dengan uji adaptif dan uji lapangan di beberapa lokasi.
"Hasil dari pengujian tersebut bisa dipergunakan sebagai pertimbangan kepada pemerintah untuk mulai menerapkan tanaman transgenik," ujar Bustanul Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar