Senin, 04 April 2011

STUDI NAHWU MAZHAB BAGHDAD TOKOH-TOKOH KUFAH LEBIH DULU MASUK KE BAGHDAD

Para ahli nahwu dan ahli bahasa Kuffah telah datang terlebih dahulu ke Baghdad bila dibandingkan para ahli dari Bashrah. Hal ini dapat dilihat melalui kedatangan Al-Kasai ke Baghdad dengan membawa ilmu nahwu Kuffah serta pendapat-pendapat para ahli tentang ilmu tersebut. Lebih dari itu, pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Kasai bahkan dipercaya oleh khalifah untuk menjadi guru bagi kedua putranya yang bernama Amin dan Makmun. Dan ketika kesehatannya mulai menurun, dia menunjuk temannya yang bernama Ali bin Malik Al-Ahmar untuk menggantikannya menjadi guru bagi kedua putra khalifah. Demikianlah, al-Kisa’i telah mampu menempatkan aliran nahwu Kuffah di Baghdad, dan memasukkannya ke dalam pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid. Tokoh lain yang datang ke Baghdad setelah Al-Kasai dan Al-Ahmar adalah Yahya bin Ziad Al-Fara’, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Makmun, untuk menjadi guru bagi kedua putra khalifah.
Kedatangan para ilmuwan Kuffah ke Baghdad senantiasa mendapat sambutan baik dari pemerintah, bahkan mereka diberi kedudukan yang terhormat, misalnya saja sebagai guru bagi putra kaisar maupun sebagai penasehat khalifah, karena mereka dianggap telah berjasa memperkenalkan sebuah ilmu baru pada Baghdad. Penyebab dari hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Thoyyib Al-Lughawy adalah, bahwa pada masa tersebut, Baghdad hanya dikenal sebagai kota kerajaan dan bukan kota ilmu pengetahuan, sehingga mereka senantiasa memberikan tempat istimewa pada orang-oranga yang mereka anggap memiliki ilmu pengetahuan dan memperkenalkannya pada mereka.

BASHRAH DAN KUFAH BERTEMU DI BAGHDAD
Ketika berita tentang kemuliaan yang didapatkan oleh para pakar nahwu Kuffah dalam pemerintahan khalifah Bani Abbas di negeri Baghdad tersebar, maka hal ini memicu hasrat dari sebagian pakar nahwu Bashrah untuk mengadu nasib ke Bagdad, dengan harapan mereka dapat ikut merasakan apa yang telah diperoleh para ilmuwan Kuffah. Meskipun kedatangan mereka banyak ditentang oleh tokoh-tokoh Bani Abbas, namun pada akhirnya mereka berhasil mendapatkan posisi di Baghdad karena mereka memiliki perangai yang baik.
Dengan kedatangan para pakar Bashrah ini, maka dapat diketahui bahwa ada dua macam aliran nahwu yang masuk ke Baghdad, yaitu aliran Kuffah dan aliran Bashrah. Kedua aliran ini tumbuh di Baghdad dengan karakteristik masing-masing, sehingga pendukung keduanyapun juga terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda. Dengan adanya berbagai perbedaan yang ada dalam kedua aliran ini, maka yang muncul ke permukaan pada tahap selanjutnya adalah adanya persaingan sengit antara keduanya dan tidak pernah mencapai titik temu. Perbedaan dan perselisihan dua aliran tersebut selanjutnya melahirkan sebuah aliran baru yang diberi nama aliran Baghdad, yaitu aliran yang memadukan aliran Kuffah dan aliran Bashrah kemudian disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang telah ada.

PENGARUH MADZHAB BAGHDAD TERHADAP KONFLIK POLITIK
Penopang Madzhab Baghdad
Pada masa-masa awal munculnya aliran Baghdad, yaitu sekitar abad ke-3 H, perkembangan ilmu nahwu di Baghdad lebih didominasi oleh pengaruh dari Kuffah dari pada pengaruh dari Bashrah. Hal ini tidak lepas dari campur tangan kekuasaan khalifah-khalifah Bani Abbas. Dominasi pengaruh madzhab Kuffah ini masih terus terasa, dan baru dapat berkurang setelah tokoh-tokohnya meninggal dunia.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar nahwu Baghdad berupaya memadukan madzhab Kuffah dan Bashrah, kemudian mereka formulasikan ke dalam sebuah aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad, di mana kaidah-kaidah yang mereka gunakan sebagian diambil dari kaidah-kaidah nahwu Kuffah, sebagian dari kaidah-kaidah nahwu Bashrah dan sebagian lagi adalah kaidah-kaidah nahwu baru hasil ijtihad ataupun istimbat mereka.

Popularitas Madzhab Baghdad di Lingkungan Kerajaan dan di Daerah
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perkembangan ilmu pengetahuan agak terhambat karena adanya campur tangan dari pemerintah, yang lebih memihak pada madzhab Kuffah. Sebagai reaksi dari kesewenang-wenangan pemerintah tersebut, membuat para ilmuwan berniat meninggalkan negeri Baghdad, yang mereka anggap tidak memberikan kedamaian. Kondisi Baghdad yang demikian masih terus berlangsung sampai datangnya Abu Al-Husain Ahmad bin Abu Syuja’ Bawaih pada tahun 334 H ke negeri tersebut dan mendirikan kekhalifahan Persi di Baghdad. Dan dalam perkembangannya, wilayah pemerintahan Bani Abbas kemudian terpecah menjadi beberapa bagian.
Seiring dengan terpecahnya kerajaan Abbasiyah, maka para pecah pula ikatan madzhab Baghdad, karena para pakar nahwu yang bermadzhab Baghdad tersebut, terpisah oleh wilayah-wilayah yang berbeda. Karena wilayah mereka telah terpisah. Oleh kaerena itu, selanjutnya para pakar nahwu tersebut menjalani kehidupan yang baru di wilayah mereka masing-masing. Hal ini berarti bahwa, para pakar tersebut mempunyai kebebasan untuk mengembangkan madzhab nahwu mereka, bebas dari pengaruh dan tekanan siapapun, termasuk pengaruh dan tekanan dari pemerintahan Bani Abbas, sehingga mereka bebas berijtihad tanpa terpengaruh oleh pakar-pakar di wilayah lain kecuali untuk kepentingan perkembangan bahasa Arab.

Misi Baru Madzhab Baghdad
Berbeda dengan pemerintahan Bani Abbas, maka pemerintahan baru yang ada di Baghdad lebih memberi perlindungan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan menghormati para ilmuwan pada masing-masing bidangnya. Mereka diberi kesempatan untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bahasa Arab, bahkan lebih dari itu, mereka dianggap sebagai bagian dari kerajaan meskipun mereka berasal dari wilayah lain. Pada masa pemerintahan As-Saljuqiyah, didirikanlah madrasah yang pertama dalam sejarah. Dikatakan pertama karena pada masa sebelumnya, proses pendidikan hanya berlangsung di masjid-masjid saja. Perhatian lebih dari pemerintah terhadap ilmu pengetahuan dan ilmuwan ini, selanjutnya memacu semangat para ilmuwan untuk lebih produktif. Sehingga pada masa tersebut, banyak bermunculanlah pengarang-pengarang besar nahwu, lebih dari apa telah ada sebelumnya, karena pada umumnya, mereka tidak cukup puas hanya menggunakan kaidah-kaidah dari pendahulu mereka saja, akan tetapi mereka mengembangkannya dengan ijtihad mereka sendiri. Dengan adanya perbedaan lingkungan dan juga perbedaan nuansa politik yang ada, selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap para ilmuwan. Ilmuwan yang ada pada masa pemerintahan saat ini (setelah pemerintahan Bani Abbas) disebut para ilmuwan (pakar) kontemporer, sedangkan ilmuwan yang ada pada masa sebelumnya (pada masa pemerintahan Bani Abbas) disebut sebagai ilmuwan (pakar) konvensional (tradisional).

PAKAR NAHWU KONTEMPORER MADZHAB BAGHDAD
Ibnu Jinni
Nama lengkapnya Abu al-Fath Utsman bin Jinni, dilahirkan di Mosul sebelum tahun 330 H (ada yang mengatakan dia dilahirkan pada 320 H). Beliau berguru kepada Ibnu Muqsam, Abu al-Faraj al-Asfihani, Abu al-‘Abbas Ahmad bin Muhammad dikenal dengan Imam Akhfas dan Abu Sahl al-Qattam. Dalam syarah kitab Al Mutanabbi dia berkata:"Ada seseorang yang bertanya kepada Abu Thayyib al-Mutanabbi tentang bait puisi: باد هواك صبرت أم لم تصبرا . Bagaimana huruf alif masih tetap pada kata تصبرا padahal ada لم jazm, mestinya diucapkan dengan لم تصبر? Mutanabbi menjawab: seandainya ada Abu al-Fatah disini, pasti beliau menjawab: alif pada تصبرا merupakan badal dari nun taukid khafifah. Asalnya: لم تصبرن , nun taukid khafifah disini jika waqf diganti dengan alif.
STUDI NAHWU MADZHAB MESIR
Benturan dua bahasa antara Arab dan Qibti
Sebelum Islam masuk ke Mesir maka telah ada bahasa Qibti. Sehingga dalam perjalanannya, bahasa Arab di Mesir cukup mengalami benturan dengan penganut Kristen Koptic yang merupakan pemakai mayoritas bahasa Qibti. Setelah terjadi Fath L-Islam di Mesir, bahasa Arab diperjuangkan agar bisa menjadi bahasa identitas kaum muslim di sana.
Benturan dua bahasa ini sangat berpengaruh pada bahasa-bahasa keseharian di sana. Meskipun akhirnya bahasa Arab lebih unggul dalam pemakaian resmi dan dijadikan bahasa negara daripada bahasa asli setempat yaitu Qibti, tapi dalam banyak hal di masyarakat masih banyak ditemukan pengaruh-pengaruh bahasa Qibti yang sangat tidak sama dengan kaidah yang dipakai oleh bahasa Arab. Sehingga kadang disebut dengan istilah Arab Mesir.

Pengajaran Bahasa
Perhatian pada bidang bahasa di Mesir terbilang terlambat dari Irak. Namun, lebih maju dari yang lain seperti daerah Syam, Maghrib dan Andalus. Bisa dibilang, orang-orang Mesir mulai menggeluti bahasa secara serius setelah di Irak telah sangat maju. Kota-kota seperti Basroh, Kufah dan Baghdad telah menjadi pusat bahasa dan ilmu.
Kebanyakan orang-orang Mesir setelah fath l-Islam lebih berkonsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu pokok keislaman dibanding bahasa. Mereka lebih mencukupkan untuk mengikuti perdebatan dan hasil-hasil penelitian tentang bahasa yang terjadi di Irak. Orang Mesir yang terkenal pertama kali membawa ilmu nahwu adalah Walid bin Muhammad Attamimi. Dia telah pergi ke Basroh dan menjadi murid Mahlabi, Kholil bin Ahmad dan para guru yang lain. Kemudian dia membawa buku-buku nahwu dan bahasa ke Mesir. Setelah itu langkah beliau diikuti oleh ulama Mesir yang lain seperti; Abu Ali Ahmad bin ja'far ad-dainuri yang telah mengambil dari al-mazini kitabnya Sibawaih dan membacanya di pusat-pusat belajar Baghdad dan mengajarkannya di Mesir.
Transfer ilmu bahasa Jalur Irak ke Mesir terus berlanjut dan diikuti oleh generasi-generasi seterusnya. Dan akhirnya orang Mesir yang telah menulis dalam bidang bahasa adalah Ibnu Walad (al-intishor li Sibaweh minalburrod), (kitab al-maqsur wa al-mamdud), Abu ja'far Annahas (kitab al-muqni' fi ikhtilaf al-bashriyiin wa kufiyiin, (kitab Tufahah), (kitab al-kafi).

STUDI NAHWU MADZHAB ANDALUSIA
ILMU NAHWU DI ANDALUSIA
Dimulainya perbincangan ilmu nahwu di Andalusia, Negara Arab Timur. mempunyai dua faktor penting:
1. Setelah permasalahan Andalusia dengan negara Timur Irak, maka tersebarlah kajian Nahwu.
2. Tenggelamnya Arab sejak masuknya Andalusia kepada purifikasi dari Faronjah dengan mengikuti jejak mereka untuk menguatkan kekuasaan mereka yang diawali dari aspek peradaban dan pemikiran.

Dua khalifah Bani Umawiyah hampir memerdekakan pemerintahan Andalusia dan menguatkan kekekuasaan pemerintahan mereka. Khalifah membuat peraturan penaklukan dengan menganjurkan para ulama untuk menuntut ilmu dan memberikan hadiah bagi mereka yang gemar mengkaji dan meneliti. Kegemaran penulisan merupakan aktifitas untuk mengembalikan kemuliaan pemerintahan bani Umawiyyah yang telah dibinasakan oleh Bani Abbas di negara Timur.
Tentunya ilmu bahasa/linguistik bermula di segala penjuru untuk mempelajari al-Qur’an, membaca as-Sunnah an-Nabawiyah dan riwayat-riwayatnya, fiqh mazhab serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, tujuan lain mempelajari bahasa adalah untuk memahami al-Quran, mengetahui riwayat as-Sahihah dan Hadist an-Nabawiyah dan keberlangsungan kebenaran agama.
Dengan demikian kita berpendapat bahwa Dirosah Nahwu di Andalusia berawal dari mazhab Kufy dan mengenyampingkan mazahb Basary selama seabad. Hampir pertengahan abad keempat kita jumpai kedua mazhab ini dapat berjalan beriringan diamana sebagian ulama stabil dalam menggunakan mazhab Kufy sedangkan ulama lainnya menggunakan mazhab Basary sedangkan kelompok ketiga menggunakan gabungan dari kedua mazhab ini.

Dengan demikian al-A’lam Syatmir adalah orang yang pertama meletakkan dasar atau merintis di Andalusia menuju mazhab Bagdad dalam corak dan potensi sebagaimana dia merupakan yang pertama yang mengajak kepada al-‘ilal as tsanawiy sebagaimana dijelaskan dalam kitab “al-Jumal” yang ditulis oleh az-Zujajy al-Bagdady, dengan demikian berlngsunglah para ulama Andalusia dalam melanjutkan upaya-upaya tersebut dan mengutip dari referensi-referensi Nahwu dari tiga mazhab yaitu Kufy, Basry dan Bagdady.
Sejak itu pelopor dalam kajian mereka adalah Kitab Sibawaih bahkan menjadi referensi rujukanya dan pergerakan keilmuwan di Andalusia berkembang dengan pilar utamanya dalah Kitab yang ditulis Sibawaih. Dan mereka berlomba-lomba menyusun Ilmu Nahwu yaitu ilmu yang dihargai sepanjang zaman meskipun terjadi kevakuman pada abad ke-7 H sehingga berhentilah dari perhatian para ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar